Rabu, 24 Oktober 2012



Siti Nurchoiriyah (09301244051)
Berpikir Mendalam Tidak Hanya Dilakukan Oleh Seorang Filsuf
Mungkin ada yang membayangkan bahwa seseorang yang sedang berpikir mendalam adalah ia yang sedang duduk disudut ruangan yang sepi, memegang kepalanya dengan kedua tangannya, merunduk dan memejamkan mata, sendirian. Atau mungkin ada pula yang menganggap bahwa berpikir mendalam hanya merupakan pekerjaan para filosof, pekerjaan para professor, kiyai, ustad, atau siapapun mereka yang berada pada level akademis-non orang kebanyakan. Jika ini adalah paradigma yang juga dianut oleh kebanyakan manusia, maka, ini adalah paaradigma yang keliru. Berpikir mendalam itu bisa, dan harusnya, menjadi pekerjaan paling mendasar dan terpenting bagi setiap manusia yang hidup di dunia ini, sebagai sebuah metode, metode untuk mulai mengenali dirinya, mengenali siapa penciptanya, apa maksud diciptakannya ia, kemudian mengetahui apa yang harus ia lakukan ketika telah memahami segala macam kehebatan yang dikaruniakan kepadanya, sebagai manusia.
Manusia adalah makhluk yang paling khas, berbeda segalanya dari makhluk yang lain. Selain bentuk fisik yang fleksibel dan multi fungsi, manusia mempunyai piranti hebat bernama otak, yang didalamnya terdapat konsep-konsep, berkat cara kerja harmonis dari system saraf yang rumit. Aristoteles (384 – 322/1 SM), filosof Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa, manusia adalah hewan yang berakal budi. Namun, lebih dari itu, manusia merupakan sebuah konstruksi paling sempurna dari segala macam bentuk paling estetis yang tiada punya badingan. Sekalipun semua arsitek paling hebat diseluruh jejak langkah kehidupan dimuka bumi ini, juga semua professional lain dibidang konstruksi dan tata bentuk juga ahli sistem dikerahkan, kehebatannya tak kan mampu menandingi segalanya yang ada dalam diri manusia. Tak kan bakal bisa kemput memahaminya, makhluk misterius bernama ; manusia.
Membicarakan manusia memang tiada habis-habisnya. Segala yang timbul daripadanya menjadi sebuah pekerjaan tersendiri untuk dapat direnungkan kembali dimasa-masa sesudahnya, sesudah lahirnya buah pikir yang timbul dari manusia itu. Terlepas dari segala apa yang telah terlahir dari segenap kemampuan pemikiran manusia, sejatinya, kemampuan berfikir itu sendiri adalah sebuah tugas yang nyata untuk direnungkan sendiri oleh manusia. Bahwa, kebanyakan dari kita tidak pernah heran terhadap diri sendiri, terutama, pikirannya sendiri, kemudian menanyakan, ‘mengapa’ pikiran kita bisa begitu cepat menangkap suatu hal, membacanya, mendeskripsikan, meneterjemahkan dengan cepat tepat apa yang telah kita dapat dari kinerja alat indra.
Berangkat dari pertanyaan mendasar diatas, saya akan mencoba memperkenalkan beberapa pemikiran para filosof terkait yang juga telah memikirkan cara kerja pikiran manusia dan segalanya yang berhubungan dengan realitas, baik fisik mupun metafisik. Namun demikian, karena ini merupakan kajian filosofis, maka hasil perenungan para filosof tersebut bersifat spekulatif, agak sukar, juga tidak bisa dibuktikan secara empiris. Namun dapat dimengerti secara rasional. Biarpun demikian, maksud saya, nanti setelah kita tahu bagaimana perjalanan pemikiran dan gagasan mereka terhadap segala kompleksitas permasalahan manusia, terutama kinerja pikiran dalam mengenali realitas, kita dapat mulai mencoba merenungkan kembali tentang hal-hal yang selama ini jarang, bahkan tidak pernah kita pikirkan.
Maka nantinya kita, terlebih saya sendiri, akan dapat senantiasa meningkatkan rasa syukur terhadap Allah SWT yang mengkaruniakan berbagai kehebatan bagi kita, kehebatan kekuatan pikiran yang mampu menembus ruang dan waktu. Selain itu, harapannya, kita dapat memahami cara-cara para filosof berpikir, kemudian merefleksikannya terhadap diri kita pribadi, untuk mencapai berpikir kritis, sebuah metode berpikir yang mampu membebaskan kita dari dogma-dogma kesesatan berpikir yang membahayakan.
Sebuah pertanyaan kecil, juga sederhana. Misal : suatu ketika kita melihat motor Yamaha Mio, dilain waktu kita melihat lagi motor Suzuki Spin dan Suzuki Shogun, disaat yang bersamaan, kita mendapati motor bermerk lain lagi, Honda Beat atau Honda MegaPro, misalnya. Pernahkah kita memikirkan, mengapa setiap kita melihat motor dengan merk-merk yang berbeda, pikiran kita dapat membacanya, bahwa kesemuanya yang kita lihat itu adalah “motor”? padahal, visualisasi dari setiap motor yang kita lihat itu jelas-jelas berbeda. Semuanya mempunyai ciri tersendiri dan berbeda jenis satu sama lain. Tapi, mengapa pikiran kita mampu menangkapnya sebagai sesuatu yang bernama umum “motor” ? Pernahkah kita menyadari, sesuatu apakah yang menuntun pikiran kita untuk meng-klaim bahwa beda-benda itu adalah jenis “motor”?
Berngkat dari contoh sederhana di atas, sekiranya kita dapat mulai mencoba menyempatkan waktu untuk memikirkan hal-hal yang kita anggap kecil dan sepele dan amat sering terjadi dalam kehidupan kita. Contoh diatas begitu sederhana, begitu kita anggap ‘ringan’, dan seringkali tidak terpikirkan oleh manusia pada umumnya. Kesibukan memikirkan hal-hal praktis untuk sebuah kepentingan tertentu telah menyita segenap perhatian kita, sehingga terhadap hal-hal kecil yang begitu mengagumkan yang ternyata tersimpan disetiap pribadi manusia itu sendiri, kita melupakannya
Plato (428/7 - 348 SM), seorang filosof Yunani kuno, mempunyai sebuah gagasan besar tetang definisi realitas didunia ini. Menurutnya, segalanya yang ada di alam, -yang kita sebut realitas- adalah fana, hanya ilusi, hanya sebuah tiruan dari sebuah dunia lain yang amat sangat sempurna adanya, gudang dari segala konsep yang ada di alam realitas didunia ini, Plato menamakan dunia lain itu, dunia idea.
Menurutnya, didalam dunia idea itu terdapat berbagai macam ‘master’ konsep untuk segalanya yang dapat dikenali olah manusia di dunia realitas ini. Secara sederhana, berdasarkn pemikiran Plato, kita mengenali sesuatu yang ada di dunia realitas ini karena sebelumnya, terlebih dahulu, kita telah mengenalinya di dunia idea. Misalnya : Ada seseorang yag membuat ‘pisau’. Katakanlah ‘pisau’ tersebut adalah ‘pisau yang pertama kali dibuat dimuka bumi’. Menurut Plato, orang ini tidak membuat ‘pisau’ dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Tetapi, orang ini hanya ‘meniru’ tentang ‘konsep pisau’ yang sudah ada terlebih dahulu didunia idea. Konsep ‘pisau’ di dunia idea Plato sudah menyangkut segalanya bentuk pisau, etah itu pisau yang tajam, atau pisau yang tumpul. Pisau dari besi atau pisau dari baja, dan segalanya tentang pisau. Menurut Plato, didalam dunia idea telah tersimpan konsep yang paling sempurna dan paling ’ideal’ tentang sesuatu yang bernama ‘pisau’. Dari dunia idea inilah kemudian pembuat pisau itu men-download konsep pisau, membuatnya secara fisik, untuk kemudian digunakan didunia realitas, menjadi sebuah ‘pisau’ seperti yang kita kenali saat ini. Jadi, didalam dunia idea Plato itu, sudah tersimpan segala macam konsep, pabrik dari segalanya yang mampu kita jangkau di alam realitas ini. Dunia idea Plato bak supermarket yang maha lengkap dengan segala isinya yang siap kita pakai untuk mengenali apapun yang ada di duia realitas ini. Bahkan, Plato menganggap, justru dunia idea itulah yang harusnya disebut ‘realitas’, bukan hal-hal yang mampu kita tangkap menggunakan alat indra dalam alam semesta.
Sekarang, bagaimana degan contoh sederhana yang saya ajukan tadi tentang ‘motor’, menurut konsep dunia idea Plato?
Kalau kita memakai perspektif Plato untuk memahami realitas dan cara kerjanya, maka, contoh tentang pengenalan ‘motor’ tadi, juga merupakan implikasi dari pengenalan yang terlebih dahulu, tentang konsep ‘motor’ didunia idea. Mengapa kita dapat memahami berbagai varian motor yang berbeda satu sama lain itu sebagai kesatuan universal bernama ‘motor’?. Berdasarkan dunia idea Plato, karena didunia idea terdapat suatu konsep sempurna dan ideal tentang ‘motor’. Jadi, meskipun kita melihat berbagai macam varian motor yang berbeda itu, otak kita akan tetap mengenalinya sebagai ‘motor’, karena, secara nirsadar, kita telah mengetahui ‘konsep motor’ yang utuh sebagai satu kesatuan yang sempurna dan ideal, di dunia idea.
Kita baru mencoba memahami cara kerja pikiran manusia dalam mengenali realitas dalam perspektif pemikiran Plato, filosof Yunani kuno yang hidup di empat abad sebelum masehi. Sementara, selain Plato, masih banyak filosof lain yang juga mempunyai pandangan-pandangan besar dan unik dalam memahami realitas. Pemikiran filosof semakin berkembang dari masa ke masa. Objek yang dipikirkan mereka semakin kompleks, dan tentu saja, semakin menarik untuk kita ketahui. Juga berkat pemikiran mereka, ilmu pengetahuan yang kita kenali dan kita pakai hingga saat ini berkembang. Tentu saja dampak yang ditimbulkan juga tidak kalah kompleksnya, dampak positif juga negatif. Maka, dilain kesempatan saya akan mencoba memaparkannya kembali.


Jumat, 05 Oktober 2012



Membangun Karakter
Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian:
(1) Suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya menarik dan atraktif;
(2) Reputasi seseorang; dan
(3) Seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik.
Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk’ unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter’ tercela).
Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini–ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904– pernah berkata: “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”. Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya (lihat homepage www.hki.org). Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: “Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good”.
Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power.
Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika ditambahkan menjadi–meminjam sebuah iklan yang pernah muncul di Harian Kompas– knowledge is power, but character is more.
Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran – termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal–seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.

Rabu, 03 Oktober 2012



Hati Adalah Pengendali Pikiran
Beruntunglah, Tuhan memberikan kita sebuah ‘memory-card’ canggih yang mampu menampung kenangan-kenangan masa silam. Sering saya mencoba membuka ‘file-file’ lama untuk sekedar bernostalgia atau untuk sinau tentang sesuatu hal. Sesuatu yang terjadi dalam hidup kita sebagian besar dipengaruhi apa yang dominan menguasai hati dan pikiran kita. Ketika hati dan pikiran didominasi sesuatu keinginan, kita akan semakin fokus pada hal tersebut. Hal ini melahirkan energi dan motivasi yang kuat mengarahkan kita menjadi apa yang kita pikirkan. Menurut psikoanalisanya Sigmund Freud, dorongan atau energi dari arah dalam diri ini tercipta karena adanya "unconcius mind" atau pikiran bawah sadar. Kekuatan pikiran bawah sadar inilah yang mendorong "inner power" untuk mewujudkan apa yang kita pikirkan.
Banyak orang kurang menyadari kemampuannya memahami bagaimana proses berpikir dan mengendalikan hati dan pikirannya. Akibatnya mereka menjadi budak atau hamba dari hati dan pikirannya. Bukannya memimpin hati dan pikirannya, malahan seumur hidupnya dikendalikan oleh hati dan pikirannya sendiri. Maka kalau ingin menjadi pemenang, mulailah mengubah keyakinan keberhasilan, kesuksesan, disebabkan faktor dari dalam diri kita. Yang menciptakan itu semua adalah hati dan pikiran kita. Berbagai faktor luar lainnya tidaklah mencerminkan diri pribadi kita. Hati dan pikiran yang ada dalam diri itulah yang mengidentifikasikan diri kita. Itulah mengapa menyalahkan faktor luar diri adalah sikap kurang bijaksana.
Mengendalikan hati dan pikiran kita sendiri, artinya kita dapat mengarahkan hati dan pikiran pada hal-hal positif dan indah tentang kesuksesan, sehingga itulah yang akan kita dapatkan. Semakin kuat keyakinan sukses mendominasi pikiran, akan dapat mengubah sikap kita. Sikap yang berubah dapat mengubah perilaku hidup kita. Perilaku hidup berubah, akan mendorong perubahan kinerja kita. Kinerja yang berubah pada akhirnya dapat merubah hidup kita benar-benar menjadi seorang pemenang. Intinya, semakin keras keyakinan sukses, semakin keras usaha kita mewujudkannya dan semakin sulit untuk menyerah. Kedisiplinan inilah yang mendorong keberhasilan seseorang menjadi seorang pemenang.
Banyak orang sangat meyakini bahwa kekuatan pikiran positif dapat membawa manusia meraih kesuksesan dalam mencapai tujuannya. Memang, tidak diragukan lagi, kalau kekuatan pikiran positif ini dan membawa manusia pada kesuksesan dalam meraih tujuannya. Mereka yang dapat mengarahkan pikirannya selalu kearah positif, maka diyakini bahwa hasilnya adalah sesuatu kehidupan yang positif juga.
Meskipun demikian, kita sebagai manusia yang memiliki keyakikan keimanan kepada Allah, sebaiknya menyadari bahwa bukan hanya mengandalkan kekuatan otak semata, bukan hanya mengandalkan akal dan kekuatan pikiran semata. Karena sesungguhnya ada kekuatan lain yang lebih dahsyat dari kekuatan otak, akal dan pikiran. Kekuatan ini bukan hanya mengantarkan manusia meraih sukses namun juga mampu mengantarkan manusia pada kemuliaan hidup. Yakni kekuatan hati atau kekuatan hati yang positif, kekuatan hati yang jernih. Kekuatan hati ini memiliki kedahsyatan yang melebihi kekuatan pikiran manusia. Karena hati adalah rajanya, hatilah yang mengatur dan memerintahkan otak, pikiran dan panca indra manusia.
Tuhan melalui berbagai ajaran yang dibawa oleh para Nabi, maupun melalui kitab suci-NYA telah mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa mendengarkan suara hati nuraninya. Mengajarkan manusia untuk dapat memelihara kejernihan hatinya, sehingga sifat-sifat mulia yang tertanam dalam hati dapat memancar ke permukaan. Karena di dalam hati manusia sudah tertanam “ built in” percikan sifat-sifat “Illahiah” dari Allah Tuhan Sang Pencipta Kehidupan. Diantara sifat-sifat mulia Allah yang tertanam dalam hati manusia adalah sifat kepedulian, kesabaran, kebersamaan, cinta dan kasih sayang, bersyukur, ikhlas, damai, kebijaksanaan, semangat, dan lain sebagainya. Karena itu sesungguhnya kekuatan hati ini sangat “powerfull” untuk meraih kesuksesan dan kemuliaan dalam segala bidang kehidupan.
Di dalam hati tempatnya pusat ketenangan, kedamaian, kesehatan, dan kebahagiaan sejati yang hakiki. Bahkan hati merupakan cerminan dari diri dan hidup manusia secara keseluruhan. Di dalam hati terdapat sumber kesehatan fisik, kekuatan mental, kecerdasan emosional, serta penuntun bagi manusia dalam meraih kemajuan spiritualnya. Hati menjadi tempat di mana sifat-sifat mulia dari Allah swt Sang Pencipta Kehidupan bersemayam. Hati adalah tempat dimana semua yang hal yang terindah, hal yang terbaik, termurni, dan tersuci berada di dalamnya.
Dengan demikian, kekuatan hati ini sangat “powerfull” dan sangat dahsyat dalam membawa manusia meraih sukses dan kemuliaan dalam segala bidang kehidupan. Hati yang jernih akan melahirkan pikiran-pikiran yang jernih dan pada akhirnya melahirkan tindakan-tindakan mulia berdasarkan suara hati nurani. Kejernihan hati dapat menjadikan manusia menjadi mampu betindak bijaksana, memiliki semangat positif, cerdas dan berbagai sifat-sifat mulia lainnya. Dengan hati yang jernih, kita dapat berpikir jernih dan menjalani kehidupan dengan lebih produktif, lebih semangat, lebih efisien dan lebih efektif untuk meraih tujuan.
Hati adalah kunci hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena Hati adalah tempat bersemayamnya Iman, dengannya kita bisa berkomunikasi dengan sang Khaliq. Hati juga menjadi kunci hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang dilandasi kejernihan hati dapat menjadikan hubungan yang lebih sehat, baik dan konstruktif dengan siapapun. Karena hubungan yang dilandasi kejernihan hati akan mengedepankan kasih sayang, kejujuran, kebersamaan dan saling menghormati. Hubungan dengan manusia akan terasa menyenangkan, menghadirkan kedamaian dan kebahagiaan. Dengan demikian akan semakin banyak orang lain yang akan memberikan dukungan bagi kesuksesan kita.
Dalam meraih kesuksesan sebaiknya jangan hanya mengandalkan kekuatan otak semata. Karena otak atau pikiran merupakan sesuatu yang terbatas dan bersifat sementara. Berusahalah menggunakan kekuatan hati nurani, menggunakan kekuatan kejernihan hati dengan seimbang. Gunakanlah kekuatan hati yang positif, karena dialah sesungguhnya diri sejati Anda. Hatilah tempat sifat mulia Allah swt Sang Pencipta bersemayam di dalam diri kita. Dengan senantiasa menggunakan kekuatan hati, mendengarkan suara hati, akan membawa manusia menjalani kehidupan dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan. Kalau seseorang dapat merasakan kedamaian hati dan kebahagiaan hati, maka akan memiliki hidup yang penuh dengan Sukses dan kemuliaan.
Namun, berbagai godaan kehidupan modern seringkali dapat mengotori kejernihan hati. Sikap egoisme, mementingkan hawa nafsu, mengikuti ambisi meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan berbagai emosi-emosi negatif seperti amarah, dendam, benci dan iri hati dapat menjadikan kejernihan hati terbelenggu, Hati yang terbelenggu cahaya kejernihannya tidak dapat memancar ke permukaan. Inilah yang dapat melemahkan kehidupan spiritual umat manusia. Kalau dibiarkan, dapat menjadikan kita semakin sulit mendengarkan bisikan hati dan lebih mempercayai atau mengandalkan kemampuan otak serta produk-produk pikiran atau akal semata. Inilah yang akan melahirkan ketidak seimbangan antara kemampuan nalar dengan hati nurani, sehingga melahirkan berbagai masalah dalam kehidupan.

Rabu, 26 September 2012



Tujuan, Harapan, dan Cita-cita

Manusia adalah makhluk yang diciptakan paling sempurna, dengan kemampuan akal pikiran, perasaan, serta pemikiran sehingga manusia dapat menentukan jalan hidupnya, apa yang harus mereka perbuat, harus mereka tinggalkan, ataupun apa yang menjadi hak serta kewajiban mereka. Dalam hidupnya, manusia terus berjuang untuk mencapai dan meraih suatu yang diharapkannya, karena manusia berusaha untuk mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, yaitu kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian dalam hidupnya. Terkadang manusia mendapatkan apa yang tidak sesuai dengan harapannya, hal tersebut dapat saja dikarenakan mereka tidak memiliki tujuan awal dari hidupnya, akan bagaimana, akan menjadi apa, dan akan seperti apa kehidupan mereka kedepannya.
Suatu tujuan hidup, ataupun pandangan hidup sangat penting dalam kehidupan seorang manusia. Tujuan, adalah tolak ukur dari sebuah takaran yang dapat diraih dengan sebuah usaha. Tolak ukur yang dijadikan patokan, sejauh mana orang harus berusaha untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Begitu pula dengan cita-cita tau pandangan hidup. Didasarkan pada adanya harapan serta keinginan untuk melakukan suatu perubahan, untuk melakukan sebuah gerakan untuk meraih apa yang diinginkan, terutama untuk kehidupannya kelak.
Manusia pasti melakukan pengharapan, manusia pasti memiliki cita-cita dan utjuan. Manusia yang tidak memiliki cita-cita adalah manusia yang hanya bergantung pada apa yang ada, manusia yang hanya dapat menunggu nasib menjawab kehidupannya. Hal tersebut sangatlah salah. Pada kenyataannya, tujuan, dan cita-cita dalam hidup adalah sebuah motivasi, sebuah dorongan bagi seseorang untuk dapat maju dan berkembang agar dirinya dapat menjadi pribadi yang lebih baik sebelumnya. Tidak ada manusia yang selalu bergantung pada nasib, selalu bergantung pada takdir atau keberuntungan. Allah pasti akan merubah kehidupan seseorang (suatu kaum) jika orang (kaum) tersebut mau merubahnya dirinya sendiri. Tidak ada yang tidak mungkin, jadikanlah sebuah cita-cita sebagai motivasi untuk maju.
Sebuah tujuan, cita-cita, harapan, pandangan hidup, dan keinginan memiliki arti yang hamper sama. Namun pada konteksnya kata-kata tersebut memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan seorang manusia. Tujuan, seorang manusia harus memiliki tujuan hidup yang pasti, dan jelas. Apabila seorang manusia memiliki tujuan hidup yang jelas maka hidupnya akan terarah, ia akan mengetahui dengan pasti apa yang harus dicapai dari tujuan awal hidupnya. Dengan demikian ia tidak akan merasa bingun untuk apa hidupnya, ditujukan untuk apa hidupnya, dan mengapa ia melakukan sesuatu, karena semata-mata adalah untuk memperoleh tujuan hidupnya yang mungkin hanya ia yang tahu, karena setiap orang memiliki tujuan hidup yang berbeda-beda.
Cita-cita, biasanya dikaitkan dengan masa depan seseorang dan biasanya dihubungkan dengan profesi seseorang nantinya. Orang yang memiliki cita-cita adalah orang yang akan berusaha untuk mencapai cita-cita tersebut dengan sungguh-sungguh. Cita-cita tidak dapat dianggap remeh, walaupun dari kecil seseorang berharap atau berkata ingin menjadi ini, ingin menjadi itu, tetapi bisa saja ucapa ntersebut terwujud, karena tidak aka nada yang tahu bagaimana nasib seseorang kedepannya, tetapi pastinya harus ada bukti nyata usaha untuk meriah cita-cita tersebut. Tidak aka nada pula cita-cita yang datang pada seseorang dengan begitu mudahnya seperti turunnya hujan, suatu kesuksesan, sebuah rasa bangga dan juga pencapaian yang diperoleh bukanlah semata-mata karena keberuntungan, bukan semata-mata karena nasib, tapi karena kehendak-Nya disertai dengan adanya ikhtiar manusia untuk meraihnya.
Sebuah harapan, biasanya diiringi dengan sebuah doa, doa yang ditujukan seseorang untuk dapat meraih apa yang diharapkan. Harapan adalah sebuah pebangkit, dengan adanya harapan, manusia akan bergerak dan bangkit, karena setiap manusia pasti memiliki harapan, setiap manusia pasti berharap, mereka memiliki hati nurani yang selalu ingin meminta, ingin selalu memiliki, dan ingin selalu merasakan apa yang namanya rahmat. Rahmat yang diberikan Allah pada manusia adalah sebuah harapan yang nyata, seseorang akan merasa bersyukur, akan merasa senang dan hatinya akan tenang apabila apa yang diharapkannya terjadi, namun bila tidak, terkadang manusia merasa bahwa ia mendapatkan yang tidak seharusnya, yang tidak sesuai dengan harapannya. Sebaiknya manusia dapat menyadari, apapun yang mereka harapkan, apapun yang mereka minta adalah pemberian Allah, dan Allah lah yang mengetahui segalanya, yang baik dan buruk bagi umat-Nya, maka dari itu hendaknya sellau bersyukur akan segala yang diterima dan diperoleh, walaupun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Pandangan hidup, adalah kata-kata yang paling jauh kedepan maknanya. Pandangan hidup adalah pandangan seseorang mengenai bagaimana kehidupan seseorang di masa depan, apa orang tersebut akan merasa bahagia atau sejahtera di masa mendatang, atau malah sebaliknya. Orang yang memiliki pandangan hidup yang baik, biasanya memiliki masa depan yang baik pula. Karena sejak dari sekarang, atau sejak ia memikirkannya, orang tersebut akan secara otomatis berhati-hati dalam bertindak, orang tersebut dapat memanajemen hidupnya dengan baik dengan memilah mana yang baik serta mana yang buruk untuk hidupnya aoa bila ia pilih, ia kerjakan, atau ia ambil daam sebuah pengambilan keputusan. Namun orang yang demikian biasanya sangat berhati-hati dan biasanya terkesan kaku, sehingga jika ia berada di lingkunag nyang tidak sesuai dnegan dirinya, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Maka dari itu, cobalah untuk menjadi orang yang memiliki pandangan hidup yang sederhana, bijak dalam menentukan aa yang baik dan buruk bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
Keinginan, hampir sama dengan harapan, namun biasanya suatu keinginan diucapkan atau diungkapkan seseorang secara spontan. Seseorang akan menginginkan sesuatu secara spontan, dan terkadang yang bersifat spontan itulah yang dilakukan pertama kali oleh seseorang. Orang tersebut akan melakukan usaha nyata untuk mendapt apa yang diinginkannya secara langsung, karena biasanya yang secara langsung akan segera memunculkan ide, keberanian, dan perasaan pantang menyerah untuk meraih segala hal.
Dari tujuan, cita-cita, harapan, pandangan hidup, dan keinginan merupakan sebuah hal yang lazim dimiliki oleh seorang manusia. Hal tersebut dikarenakan manusia adalah makhluk yang diciptakan sempurna dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka harus dapat memanfaatkan kelebihannnya masing-masing dengan baik, dan harus dapat membuat apa yang menjadi kekurangan mereka dapat tertutupi oleh kelebihannya. Maka dari itu hendaklah berusaha untuk mewujudkan sebuah tujuan, serta pandangan hidup agar nantinya dapat memperoleh sesuatu yang terbaik, walaupun terkadang tidak sesuai dengan harapa. Tetapi percayalah, Allah akan memebrikan segala yang terbaik bagi umat-Nya karena Ia lah yang mengetahui, memberi, menguasai, dan memiliki segalanya di dunia ini.
Pertanyaan:
Apakah perbedaan antara tujuan dan cita-cita ?
Manakah yang benar, mengejar harapan atau mengejar kepastian?