Rabu, 24 Oktober 2012



Siti Nurchoiriyah (09301244051)
Berpikir Mendalam Tidak Hanya Dilakukan Oleh Seorang Filsuf
Mungkin ada yang membayangkan bahwa seseorang yang sedang berpikir mendalam adalah ia yang sedang duduk disudut ruangan yang sepi, memegang kepalanya dengan kedua tangannya, merunduk dan memejamkan mata, sendirian. Atau mungkin ada pula yang menganggap bahwa berpikir mendalam hanya merupakan pekerjaan para filosof, pekerjaan para professor, kiyai, ustad, atau siapapun mereka yang berada pada level akademis-non orang kebanyakan. Jika ini adalah paradigma yang juga dianut oleh kebanyakan manusia, maka, ini adalah paaradigma yang keliru. Berpikir mendalam itu bisa, dan harusnya, menjadi pekerjaan paling mendasar dan terpenting bagi setiap manusia yang hidup di dunia ini, sebagai sebuah metode, metode untuk mulai mengenali dirinya, mengenali siapa penciptanya, apa maksud diciptakannya ia, kemudian mengetahui apa yang harus ia lakukan ketika telah memahami segala macam kehebatan yang dikaruniakan kepadanya, sebagai manusia.
Manusia adalah makhluk yang paling khas, berbeda segalanya dari makhluk yang lain. Selain bentuk fisik yang fleksibel dan multi fungsi, manusia mempunyai piranti hebat bernama otak, yang didalamnya terdapat konsep-konsep, berkat cara kerja harmonis dari system saraf yang rumit. Aristoteles (384 – 322/1 SM), filosof Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa, manusia adalah hewan yang berakal budi. Namun, lebih dari itu, manusia merupakan sebuah konstruksi paling sempurna dari segala macam bentuk paling estetis yang tiada punya badingan. Sekalipun semua arsitek paling hebat diseluruh jejak langkah kehidupan dimuka bumi ini, juga semua professional lain dibidang konstruksi dan tata bentuk juga ahli sistem dikerahkan, kehebatannya tak kan mampu menandingi segalanya yang ada dalam diri manusia. Tak kan bakal bisa kemput memahaminya, makhluk misterius bernama ; manusia.
Membicarakan manusia memang tiada habis-habisnya. Segala yang timbul daripadanya menjadi sebuah pekerjaan tersendiri untuk dapat direnungkan kembali dimasa-masa sesudahnya, sesudah lahirnya buah pikir yang timbul dari manusia itu. Terlepas dari segala apa yang telah terlahir dari segenap kemampuan pemikiran manusia, sejatinya, kemampuan berfikir itu sendiri adalah sebuah tugas yang nyata untuk direnungkan sendiri oleh manusia. Bahwa, kebanyakan dari kita tidak pernah heran terhadap diri sendiri, terutama, pikirannya sendiri, kemudian menanyakan, ‘mengapa’ pikiran kita bisa begitu cepat menangkap suatu hal, membacanya, mendeskripsikan, meneterjemahkan dengan cepat tepat apa yang telah kita dapat dari kinerja alat indra.
Berangkat dari pertanyaan mendasar diatas, saya akan mencoba memperkenalkan beberapa pemikiran para filosof terkait yang juga telah memikirkan cara kerja pikiran manusia dan segalanya yang berhubungan dengan realitas, baik fisik mupun metafisik. Namun demikian, karena ini merupakan kajian filosofis, maka hasil perenungan para filosof tersebut bersifat spekulatif, agak sukar, juga tidak bisa dibuktikan secara empiris. Namun dapat dimengerti secara rasional. Biarpun demikian, maksud saya, nanti setelah kita tahu bagaimana perjalanan pemikiran dan gagasan mereka terhadap segala kompleksitas permasalahan manusia, terutama kinerja pikiran dalam mengenali realitas, kita dapat mulai mencoba merenungkan kembali tentang hal-hal yang selama ini jarang, bahkan tidak pernah kita pikirkan.
Maka nantinya kita, terlebih saya sendiri, akan dapat senantiasa meningkatkan rasa syukur terhadap Allah SWT yang mengkaruniakan berbagai kehebatan bagi kita, kehebatan kekuatan pikiran yang mampu menembus ruang dan waktu. Selain itu, harapannya, kita dapat memahami cara-cara para filosof berpikir, kemudian merefleksikannya terhadap diri kita pribadi, untuk mencapai berpikir kritis, sebuah metode berpikir yang mampu membebaskan kita dari dogma-dogma kesesatan berpikir yang membahayakan.
Sebuah pertanyaan kecil, juga sederhana. Misal : suatu ketika kita melihat motor Yamaha Mio, dilain waktu kita melihat lagi motor Suzuki Spin dan Suzuki Shogun, disaat yang bersamaan, kita mendapati motor bermerk lain lagi, Honda Beat atau Honda MegaPro, misalnya. Pernahkah kita memikirkan, mengapa setiap kita melihat motor dengan merk-merk yang berbeda, pikiran kita dapat membacanya, bahwa kesemuanya yang kita lihat itu adalah “motor”? padahal, visualisasi dari setiap motor yang kita lihat itu jelas-jelas berbeda. Semuanya mempunyai ciri tersendiri dan berbeda jenis satu sama lain. Tapi, mengapa pikiran kita mampu menangkapnya sebagai sesuatu yang bernama umum “motor” ? Pernahkah kita menyadari, sesuatu apakah yang menuntun pikiran kita untuk meng-klaim bahwa beda-benda itu adalah jenis “motor”?
Berngkat dari contoh sederhana di atas, sekiranya kita dapat mulai mencoba menyempatkan waktu untuk memikirkan hal-hal yang kita anggap kecil dan sepele dan amat sering terjadi dalam kehidupan kita. Contoh diatas begitu sederhana, begitu kita anggap ‘ringan’, dan seringkali tidak terpikirkan oleh manusia pada umumnya. Kesibukan memikirkan hal-hal praktis untuk sebuah kepentingan tertentu telah menyita segenap perhatian kita, sehingga terhadap hal-hal kecil yang begitu mengagumkan yang ternyata tersimpan disetiap pribadi manusia itu sendiri, kita melupakannya
Plato (428/7 - 348 SM), seorang filosof Yunani kuno, mempunyai sebuah gagasan besar tetang definisi realitas didunia ini. Menurutnya, segalanya yang ada di alam, -yang kita sebut realitas- adalah fana, hanya ilusi, hanya sebuah tiruan dari sebuah dunia lain yang amat sangat sempurna adanya, gudang dari segala konsep yang ada di alam realitas didunia ini, Plato menamakan dunia lain itu, dunia idea.
Menurutnya, didalam dunia idea itu terdapat berbagai macam ‘master’ konsep untuk segalanya yang dapat dikenali olah manusia di dunia realitas ini. Secara sederhana, berdasarkn pemikiran Plato, kita mengenali sesuatu yang ada di dunia realitas ini karena sebelumnya, terlebih dahulu, kita telah mengenalinya di dunia idea. Misalnya : Ada seseorang yag membuat ‘pisau’. Katakanlah ‘pisau’ tersebut adalah ‘pisau yang pertama kali dibuat dimuka bumi’. Menurut Plato, orang ini tidak membuat ‘pisau’ dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Tetapi, orang ini hanya ‘meniru’ tentang ‘konsep pisau’ yang sudah ada terlebih dahulu didunia idea. Konsep ‘pisau’ di dunia idea Plato sudah menyangkut segalanya bentuk pisau, etah itu pisau yang tajam, atau pisau yang tumpul. Pisau dari besi atau pisau dari baja, dan segalanya tentang pisau. Menurut Plato, didalam dunia idea telah tersimpan konsep yang paling sempurna dan paling ’ideal’ tentang sesuatu yang bernama ‘pisau’. Dari dunia idea inilah kemudian pembuat pisau itu men-download konsep pisau, membuatnya secara fisik, untuk kemudian digunakan didunia realitas, menjadi sebuah ‘pisau’ seperti yang kita kenali saat ini. Jadi, didalam dunia idea Plato itu, sudah tersimpan segala macam konsep, pabrik dari segalanya yang mampu kita jangkau di alam realitas ini. Dunia idea Plato bak supermarket yang maha lengkap dengan segala isinya yang siap kita pakai untuk mengenali apapun yang ada di duia realitas ini. Bahkan, Plato menganggap, justru dunia idea itulah yang harusnya disebut ‘realitas’, bukan hal-hal yang mampu kita tangkap menggunakan alat indra dalam alam semesta.
Sekarang, bagaimana degan contoh sederhana yang saya ajukan tadi tentang ‘motor’, menurut konsep dunia idea Plato?
Kalau kita memakai perspektif Plato untuk memahami realitas dan cara kerjanya, maka, contoh tentang pengenalan ‘motor’ tadi, juga merupakan implikasi dari pengenalan yang terlebih dahulu, tentang konsep ‘motor’ didunia idea. Mengapa kita dapat memahami berbagai varian motor yang berbeda satu sama lain itu sebagai kesatuan universal bernama ‘motor’?. Berdasarkan dunia idea Plato, karena didunia idea terdapat suatu konsep sempurna dan ideal tentang ‘motor’. Jadi, meskipun kita melihat berbagai macam varian motor yang berbeda itu, otak kita akan tetap mengenalinya sebagai ‘motor’, karena, secara nirsadar, kita telah mengetahui ‘konsep motor’ yang utuh sebagai satu kesatuan yang sempurna dan ideal, di dunia idea.
Kita baru mencoba memahami cara kerja pikiran manusia dalam mengenali realitas dalam perspektif pemikiran Plato, filosof Yunani kuno yang hidup di empat abad sebelum masehi. Sementara, selain Plato, masih banyak filosof lain yang juga mempunyai pandangan-pandangan besar dan unik dalam memahami realitas. Pemikiran filosof semakin berkembang dari masa ke masa. Objek yang dipikirkan mereka semakin kompleks, dan tentu saja, semakin menarik untuk kita ketahui. Juga berkat pemikiran mereka, ilmu pengetahuan yang kita kenali dan kita pakai hingga saat ini berkembang. Tentu saja dampak yang ditimbulkan juga tidak kalah kompleksnya, dampak positif juga negatif. Maka, dilain kesempatan saya akan mencoba memaparkannya kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar