Siti Nurchoiriyah (09301244051)
Berpikir
Mendalam Tidak Hanya Dilakukan Oleh Seorang Filsuf
Mungkin ada yang membayangkan bahwa
seseorang yang sedang berpikir mendalam adalah ia yang sedang duduk disudut
ruangan yang sepi, memegang kepalanya dengan kedua tangannya, merunduk dan
memejamkan mata, sendirian. Atau mungkin ada pula yang menganggap bahwa
berpikir mendalam hanya merupakan pekerjaan para filosof, pekerjaan para
professor, kiyai, ustad, atau siapapun mereka yang berada pada level
akademis-non orang kebanyakan. Jika ini adalah paradigma yang juga dianut oleh
kebanyakan manusia, maka, ini adalah paaradigma yang keliru. Berpikir mendalam
itu bisa, dan harusnya, menjadi pekerjaan paling mendasar dan terpenting bagi
setiap manusia yang hidup di dunia ini, sebagai sebuah metode, metode untuk
mulai mengenali dirinya, mengenali siapa penciptanya, apa maksud diciptakannya
ia, kemudian mengetahui apa yang harus ia lakukan ketika telah memahami segala
macam kehebatan yang dikaruniakan kepadanya, sebagai manusia.
Manusia adalah makhluk yang paling
khas, berbeda segalanya dari makhluk yang lain. Selain bentuk fisik yang
fleksibel dan multi fungsi, manusia mempunyai piranti hebat bernama otak, yang
didalamnya terdapat konsep-konsep, berkat cara kerja harmonis dari system
saraf yang rumit. Aristoteles (384 – 322/1 SM), filosof Yunani kuno, pernah
mengatakan bahwa, manusia adalah hewan yang berakal budi. Namun, lebih dari
itu, manusia merupakan sebuah konstruksi paling sempurna dari segala macam
bentuk paling estetis yang tiada punya badingan. Sekalipun semua arsitek paling
hebat diseluruh jejak langkah kehidupan dimuka bumi ini, juga semua
professional lain dibidang konstruksi dan tata bentuk juga ahli sistem
dikerahkan, kehebatannya tak kan mampu menandingi segalanya yang ada dalam diri
manusia. Tak kan bakal bisa kemput memahaminya, makhluk misterius bernama ;
manusia.
Membicarakan manusia memang tiada
habis-habisnya. Segala yang timbul daripadanya menjadi sebuah pekerjaan
tersendiri untuk dapat direnungkan kembali dimasa-masa sesudahnya, sesudah
lahirnya buah pikir yang timbul dari manusia itu. Terlepas dari segala apa yang
telah terlahir dari segenap kemampuan pemikiran manusia, sejatinya, kemampuan
berfikir itu sendiri adalah sebuah tugas yang nyata untuk direnungkan sendiri
oleh manusia. Bahwa, kebanyakan dari kita tidak pernah heran terhadap diri
sendiri, terutama, pikirannya sendiri, kemudian menanyakan, ‘mengapa’ pikiran
kita bisa begitu cepat menangkap suatu hal, membacanya, mendeskripsikan,
meneterjemahkan dengan cepat tepat apa yang telah kita dapat dari kinerja alat
indra.
Berangkat dari pertanyaan mendasar
diatas, saya akan mencoba memperkenalkan beberapa pemikiran para filosof
terkait yang juga telah memikirkan cara kerja pikiran manusia dan segalanya
yang berhubungan dengan realitas, baik fisik mupun metafisik. Namun demikian,
karena ini merupakan kajian filosofis, maka hasil perenungan para filosof
tersebut bersifat spekulatif, agak sukar, juga tidak bisa dibuktikan secara
empiris. Namun dapat dimengerti secara rasional. Biarpun demikian, maksud saya,
nanti setelah kita tahu bagaimana perjalanan pemikiran dan gagasan mereka
terhadap segala kompleksitas permasalahan manusia, terutama kinerja pikiran
dalam mengenali realitas, kita dapat mulai mencoba merenungkan kembali tentang
hal-hal yang selama ini jarang, bahkan tidak pernah kita pikirkan.
Maka nantinya kita, terlebih saya
sendiri, akan dapat senantiasa meningkatkan rasa syukur terhadap Allah SWT yang
mengkaruniakan berbagai kehebatan bagi kita, kehebatan kekuatan pikiran yang
mampu menembus ruang dan waktu. Selain itu, harapannya, kita dapat memahami
cara-cara para filosof berpikir, kemudian merefleksikannya terhadap diri kita
pribadi, untuk mencapai berpikir kritis, sebuah metode berpikir yang mampu membebaskan
kita dari dogma-dogma kesesatan berpikir yang membahayakan.
Sebuah pertanyaan kecil, juga
sederhana. Misal : suatu ketika kita melihat motor Yamaha Mio, dilain
waktu kita melihat lagi motor Suzuki Spin dan Suzuki Shogun,
disaat yang bersamaan, kita mendapati motor bermerk lain lagi, Honda Beat atau
Honda MegaPro, misalnya. Pernahkah kita memikirkan, mengapa setiap kita
melihat motor dengan merk-merk yang berbeda, pikiran kita dapat membacanya,
bahwa kesemuanya yang kita lihat itu adalah “motor”? padahal, visualisasi dari
setiap motor yang kita lihat itu jelas-jelas berbeda. Semuanya mempunyai ciri
tersendiri dan berbeda jenis satu sama lain. Tapi, mengapa pikiran kita mampu
menangkapnya sebagai sesuatu yang bernama umum “motor” ? Pernahkah kita menyadari,
sesuatu apakah yang menuntun pikiran kita untuk meng-klaim bahwa beda-benda itu
adalah jenis “motor”?
Berngkat dari contoh sederhana di
atas, sekiranya kita dapat mulai mencoba menyempatkan waktu untuk memikirkan
hal-hal yang kita anggap kecil dan sepele dan amat sering terjadi dalam
kehidupan kita. Contoh diatas begitu sederhana, begitu kita anggap ‘ringan’,
dan seringkali tidak terpikirkan oleh manusia pada umumnya. Kesibukan
memikirkan hal-hal praktis untuk sebuah kepentingan tertentu telah menyita segenap
perhatian kita, sehingga terhadap hal-hal kecil yang begitu mengagumkan yang
ternyata tersimpan disetiap pribadi manusia itu sendiri, kita melupakannya
Plato (428/7 - 348 SM), seorang
filosof Yunani kuno, mempunyai sebuah gagasan besar tetang definisi realitas
didunia ini. Menurutnya, segalanya yang ada di alam, -yang kita sebut realitas-
adalah fana, hanya ilusi, hanya sebuah tiruan dari sebuah dunia lain yang amat
sangat sempurna adanya, gudang dari segala konsep yang ada di alam realitas
didunia ini, Plato menamakan dunia lain itu, dunia idea.
Menurutnya, didalam dunia idea itu
terdapat berbagai macam ‘master’ konsep untuk segalanya yang dapat dikenali
olah manusia di dunia realitas ini. Secara sederhana, berdasarkn pemikiran
Plato, kita mengenali sesuatu yang ada di dunia realitas ini karena sebelumnya,
terlebih dahulu, kita telah mengenalinya di dunia idea. Misalnya : Ada
seseorang yag membuat ‘pisau’. Katakanlah ‘pisau’ tersebut adalah ‘pisau yang
pertama kali dibuat dimuka bumi’. Menurut Plato, orang ini tidak membuat
‘pisau’ dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Tetapi, orang ini hanya ‘meniru’
tentang ‘konsep pisau’ yang sudah ada terlebih dahulu didunia idea. Konsep
‘pisau’ di dunia idea Plato sudah menyangkut segalanya bentuk pisau, etah itu
pisau yang tajam, atau pisau yang tumpul. Pisau dari besi atau pisau dari baja,
dan segalanya tentang pisau. Menurut Plato, didalam dunia idea telah tersimpan
konsep yang paling sempurna dan paling ’ideal’ tentang sesuatu yang bernama
‘pisau’. Dari dunia idea inilah kemudian pembuat pisau itu men-download
konsep pisau, membuatnya secara fisik, untuk kemudian digunakan didunia
realitas, menjadi sebuah ‘pisau’ seperti yang kita kenali saat ini. Jadi,
didalam dunia idea Plato itu, sudah tersimpan segala macam konsep, pabrik dari
segalanya yang mampu kita jangkau di alam realitas ini. Dunia idea Plato bak
supermarket yang maha lengkap dengan segala isinya yang siap kita pakai untuk
mengenali apapun yang ada di duia realitas ini. Bahkan, Plato menganggap,
justru dunia idea itulah yang harusnya disebut ‘realitas’, bukan hal-hal yang
mampu kita tangkap menggunakan alat indra dalam alam semesta.
Sekarang, bagaimana degan contoh
sederhana yang saya ajukan tadi tentang ‘motor’, menurut konsep dunia idea
Plato?
Kalau kita memakai perspektif Plato
untuk memahami realitas dan cara kerjanya, maka, contoh tentang pengenalan
‘motor’ tadi, juga merupakan implikasi dari pengenalan yang terlebih dahulu,
tentang konsep ‘motor’ didunia idea. Mengapa kita dapat memahami berbagai varian
motor yang berbeda satu sama lain itu sebagai kesatuan universal bernama
‘motor’?. Berdasarkan dunia idea Plato, karena didunia idea terdapat suatu
konsep sempurna dan ideal tentang ‘motor’. Jadi, meskipun kita melihat berbagai
macam varian motor yang berbeda itu, otak kita akan tetap mengenalinya sebagai
‘motor’, karena, secara nirsadar, kita telah mengetahui ‘konsep motor’ yang
utuh sebagai satu kesatuan yang sempurna dan ideal, di dunia idea.
Kita baru mencoba memahami cara
kerja pikiran manusia dalam mengenali realitas dalam perspektif pemikiran
Plato, filosof Yunani kuno yang hidup di empat abad sebelum masehi. Sementara,
selain Plato, masih banyak filosof lain yang juga mempunyai pandangan-pandangan
besar dan unik dalam memahami realitas. Pemikiran filosof semakin berkembang
dari masa ke masa. Objek yang dipikirkan mereka semakin kompleks, dan tentu
saja, semakin menarik untuk kita ketahui. Juga berkat pemikiran mereka, ilmu
pengetahuan yang kita kenali dan kita pakai hingga saat ini berkembang. Tentu saja
dampak yang ditimbulkan juga tidak kalah kompleksnya, dampak positif juga
negatif. Maka, dilain kesempatan saya akan mencoba memaparkannya kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar